Sabtu, 21 Februari 2009

Makna Syahadat Nabi

 Kalimat laa ilahaa ilallah di dalam dua kalimat syahadat menertapkan bahwa hanya Allah satu-satunya zat yang berhak diibadahi dan diabdi, dipatuhi dan ditaati, dijadikan sebagai satu-satunya pembuat hukum. Serta meniadakan segala bentuk ibadah dan pengabdian kepada selain Allah. Sementara, kalimat muhammadur rasulullah bermakna;

1. Persaksian bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan (rasul) Allah terakhir, yang telah menyampaikan risalah Islam kepada seluruh umat mausia yang akan membawa rahmat bila risalah tersebut dilaksanakan:

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu"(as Saba:28)

"Dan tiada Kami mengutus jamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam"(al Anbiya:107)

2. Persaksian bahwa apa yang disampaikan nabi _ baik al Qur'an maupun al hadits _ keduanya adalah wahyu Allah, Sehingga wajib mengimani dan menaati keduanya, tanpa memisah-misahkan. Dari sini paham inkarus sunnah sama sekali tidak bisa diterima. Mengikuti al Qur'an dan al hadits menjamin kita tidak sesat selamanya.

"Dan tiadalah yang diucapkan itu (al Qur'an dan al hadits) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya"(an Najm:3-4).

"Katakanlah: sesungguhnya aku memberi peringatan pada kalian dengan wahyu"(al Anbiya:45)

"Segala yang dibawa oleh Rasul kepada kalian maka ambillah, dan segala yang dilarang Rasul maka tinggalkanlah"(al Hasyr:7)

"Jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku, maka kalian akan dicintai Allah"(ali Imran:31)

"Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, jika kalian berpegang teguh pada keduanya maka kalian tidak akan tersesat selamanya, yakni al Kitab (al Qur'an) dan sunnah rasulullah"(al hadits)

3. Persaksian bahwa Nabi Muhammad adalah teladan puncak bagi setiap muslim. Ketaatan kepadanya adalah bagian dari ketaatan pada Allah. Tidak boleh mengambil hukum selain dari yang telah disampaikan olehnya kepada kita.

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. (Yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah"(al Ahzab:21)

"Barangsiapa mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah"(an Nisaa:80)

Berdasarkan pengertian-pengertian dasar di atas, maka:

1. Wajib atas seluruh kaum muslimin untuk beriman pada aqidah Islam dan melaksanakan semua hukum _ dengan tidak memilih-milih _ yang disampaikan oleh Rasulullah kepada kita. Tidak pantas bagi seorang muslim menggunakan hukum selian yang datang dari Rasulullah.

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya"(an Nisaa:65)

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah ia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya"(al Hasyr:7)

"Dan tidak patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula bagi perempuan mukmin, apabila Allah dan rasulNya telah menetapkan suatu ketetapan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan RasulNya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata"(al Ahzab:36)

2. Wajib atas setiap muslim untuk meneladani Rasulullah dan ittiba' padanya.

"Katakanlah; jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"(Q.S...)

3. Paling sedikit sebagai bukti kecintaan kepada Rasulullah kita bershalawat untuknya.

"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya"(al Ahzab:56).


Bagaimana Meneladani Rasulullah?
Setelah dipahami bahwa wajib atas setiap muslim meneladani rtasulullah, persoalannya kini adalah bagaimana caranya, mengingat rentang waktu kehidupa Rasulullahdenga kita sudah demikian jauh. Artinya, apakah dalam semua gal kita harus mengikuti rasulullah? Bila tidak, dalam hal apa saja? Juga bagaimana kaum wanita bisa meneladani Rasulullah sementara beliau adalah laki-laki?
Memang rasulullah adalah manusia biasa (18:110) yang hidup empat belas abad silam. Bedanya denan kita adalah, beliau menerima wahyu dari Allah. Tapi darisegi kemanusiaan (insaniyah) Rasul sama dengan kita. Nah, syariat Islam turun atas prinsip insaniah tersebut. Berdasar segi kemanusiaan, laki-laki dan wanita sama saja. Maka Rasulullah yang laki-laki bisa pula diikuti oleh umatnya yan wanita. Dalam hal yang menyangkut kehidpan wanita _ seperti haid, kehamilan, dsb. _ Rasulullah menjelaskan melalui istri-isrinya dan para shahabiah (sahabat wanita).


Adapun dari segi perkara mana saja yang wajib diikuti, maka dilihat:

1. Bila menyangkut perkara takhassus (yang dikhususkan untuk Rasulullah), seperti nikah lebih dari empat, maka haram bagi umatnya mengikuti.

2. Bila menyangkut perkara jibiliyah (yang menyangkut sifat Rasul sebagai manusia), seperti cara berjalan, cara makan, maka mubah (boleh) umatnya mengikuti.

3. Diluar dua perkara di atas, maka dilihat:

l Bila perbuatan dan perkataan Rasulullah merupakan bayan (penjelas), maka hukum mengikuti perbuatan Rasul tergantung hukum perkara yang dijelaskan tersebut; apakah haram, sunnah (mandub) atau wajib.

l Bila bukan merupakan penjelas, dan didalamnya ada maksud untuk taqarrub (maksud untuk mendekatkandiri kepada Allah) maka hukumnya sunnah. Bila bukan taqarrub, maka hukumnya adalah mubah.
Wallahu'alam bish shawab. n


CIRI-CIRI MUKMIN YANG BERUNTUNG

Allah berfirman dalam surah al-Mukminun ayat 1 - 11
1. Sungguh beruntunglah orang-orang beriman
2. (yaitu) orang yang khusuk dalam shalatnya
3. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari yang tiada berguna
4. Dan orang-orang yang membayar zakat
5. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya
6. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki,
1. maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
7. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-
2. orang yang melampaui batas
8. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya
9. Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya
10. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi
11. Yakni yang akan mewarisi surga firdaus. Mereka kekal di
dalamnya


Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Umar Ibnul Khattab, bahwa Rasululah bersabda:

"Laqad unzila 'alayya 'asyra ayatin, man aqoma hunna dakhala al-jannah (telah diturunkan kepadaku sepuluh ayat _ yang dimasuksud adalah ayat 1 sampai 10 surah al-Mukminun ini barang siapa mengerjakannya akan masuk surga)"

Shalat khusyu' bisa diperoleh bila:

Pertama, kaifiat (tata cara)nya benar, yakni memenuhi rukun dan syarat sesuai syariat Islam.

Kedua, dijalankan penuh ikhlas, artinya mengharap keridhaan Allah semata.

Ketiga, memahami makna ucapan-ucapan dalam shalat, hingga mampu membekas dalam sukma. Bekas shalat adalah khusyu'. Dan pribadi yang khusyu' adalah mereka yang kare-
na shalatnya terhindar dari perbuatan fasik dan mungkar. Bila ia shalat tapi juga berbuat fasik dan mungkar, ia telah melanggar kata-katanya sendiri dalam shalat. Kecuali ia tidak tahu apa
yang ia ucapkan. Maka shalatnya tiada bermanfaat.

Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah, amal apakah yang paling disukai Allah?" Rasulullah menjawab: "al-shalatu 'ala waqtiha, qultu tsumma ayyu, qola birru al-walidayn, qultu tsumma ayyu, qola al-jihadu fi sabilillah " (shalat pada waktunya, berbakti pada orang tua, dan jihad di jalan Allah).


Seorang muslim harus menjaga imannya agar tidak menurun (karena iman memang bisa naik-turun) serta dari kemungkinan tercemari syirik. Juga harus menjaga diri agar tidak melakukan maksiyat (melalaikan kewajiban dan melakukan yang haram). Di luar itu, seorang muslim dituntunkan lebih baik meninggalkan per buatan mubah (yang hukumnya boleh) tapi tidak bermanfaat.
Berkaitan dengan soal ini Rasulullah bersabda;

"Diantara kesempurnaan Islamnya seseorang adalah meninggalkan hal-
hal yang tiada berfaedah" (HR. Tirmidzi)


Zakat, baik zakat fitrah, zakat mal maupun hewan dan hasil pertanian serta pertambangan adalah ibadah yang wajib dijalankan atas mereka yang tergolong muzakki (wajib membayar zakat). Setiap muslim harus bisa menilai diri sendiri apakah ia tergolong muzakki atau tidak. Kesediaan membayar zakat adalah ciri seorang mukmin, yang rela ketika Allah memerintahkan untuk memberikan sebagian harta yang dimilikinya kepada orang yang berhak (mustahik). Bila Allah yang memerintah, jangankan harta, bagi seorang mukmin yang sejati, jiwa pun tak segan ia berikan. Ia yakin, kematian di jalan Allah adalah semulia-mulia akhir kehidupan. Dan surga adalah balasannya.

"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh.
(Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah didalam Taurat, Injil dan al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain dari pada Allah?" (al-Taubah:111)

l Bagi seorang muslim, hidup adalah rangkaian ibadah. Termasuk ketika ia memenuhi hasrat seksualnya. Ia akan menempuh cara-cara yang telah ditetapkan Islam dan menghindari yang dilarangnya. Baginya yang terpenting bukanlah kepuasan itu sendiri, karena kepuasan memang tidak pernah punya ujung, melainkan keridhaan Allah. Ia akan merasa bahagia lahir bathin manakala kepuasan seksualnya ia peroleh dengan cara yang halal. Karena ituia akan menjaga kemaluannya dengan cara yang sebenar-benarnya.

Seorang muslim yang beriman adalah orang yang terpercaya. Ia akan menunaikan setiap amanah yang dipikulnya dan menepati setiap janji yang diucapkannya. Ia menjadi orang yang terpercaya, hanyakarena memang demikianlah tuntunan Islam. Ia mengerti, bahwa bila ia bisa melaksanakan amanah dan janjinya dengan baik, itu adalah ibadah. Ia yakin Allah menjadi saksi atas semua itu. Karena Allah menyaksikan juga, maka ia takut mengkhianati amanah dan melanggar janji.

"Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yakni bila berkata dusta, bila berjanji ingkar dan bila diberi amanat khianat"

Orang-orang diantaranya dengan lima ciri inilah yang dijanjikan surga firdaus oleh Allah. Adakah kita telah melaksanakan kelima-limanya? Wallahu 'alam bi al-shawab


KEMAKSUMAN RASUL

 Para nabi dan rasul pasti maksum dalam hal penyampaian risalah (tabligh). Artinya, mereka terbebas dari kemungkinan melakukan kekeliruan dalam menyampaikan wahyu atau risalah Islam. Sebab, bila ada kekeliruan yang dilakukan oleh seorang rasul dalam satu masalah saja, berarti ada kemungkinan terjadinya kekeliruan atau cacat pada masalah lain bahkan dalam seluruh masalah. Jika itu terjadi, maka rusaklah nilai kenabian dan kerasulan secara keseluruhan karena risalah yang seharusnya berfungsi sebagai petunjuk ke arah jalan lurus, telah menyimpang. Berarti juga Allah telah menyesatkan manusia. Subhanallah. Itu jelas tidak mungkin.
Al Qur'an telah menjelaskan bahwa yang disampaikan oleh Rasulullah tidak lain adalah wahyu semata. Rasulullah dalam berkata-kata tidaklah mengikuti hawa nafsunya, melainkan dibimbing oleh wahyu yang diturunkan kepada rasulullah.

"Katakanlah, sesungguhnya aku hanyalah memberi peringatan kepadamu dengan al-wahyu" (al-Anbiya 45)

"(Dan) dia (Muhammad) tidaklah mengucapkan sesuatu dari hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadaku)" (al-Najm 3 - 4)

Lafadz "wa ma yantiqu" (dan tidaklah ia mengucapkan) tertulis dalam bentuk umum. Artinya, mencakup al-Qur'an dan selain al-Qur'an, yakni al-Hadits. Jadi hadits, sesuai pengertian ini, juga termasuk al-wahyu. Sebagaimana al-Qur'an, al-Hadits secara umum (selanjutnya tergantung kategorinya) harus diimani dan diterima secara mutlak, sepanjang itu menyangkut masalah pemikiran, pendapat, hukum (tasyri'), masalah aqidah (aqaid), dan kisah-kisah. Bukan menyangkut persoalan cara (uslub), sarana-sarana (wasilah) misalnya dalam strategi peperangan atau teknik penyerbukan korma. Pendek kata, ucapan rasul yang merupakan wahyu adalah yang berkaitan dengan kedudukan dan tugasnya sebagai penyampai risalah Allah, bukan yang lainnya misalnya berkaitan dengan sains dan teknologi atau perbuatan yang bersifat jibiliah (kemanusiaan) seperti cara jalan, makan dan sebagainya.
Wahyu mencakup perkataan (aqwal), perbuatan (af'al) dan diamnya (takrir) Rasulullah atas sesuatu. Maka perkataan, perbuatan dan diamnya Rasul adalah dalil syar'iy. Karena Rasulullah memang tidak pernah memberikan alternatif penyelesaian problematika manusia kecuali berdasarkan wahyu.

"Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku" (al-Ahqaf :9)

"Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan Tuhan kepadaku" (al-A'raf :203)

Ayat di atas menunjukkan bahwa kewajiban meneladani Rasulullah sebatas apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepadanya. Itulah yang dilakukan oleh para shahabat. Mereka selalu bertanya kepada Rasulullah tentang hukum banyak perkara seperti soal zhihar, li'an, pengkebiran (ikhtisha'), melancong (siyahah) dan sebagainya. Kadang, seperti dalam persoalan dzhihar dan li'an, Rasulullah tidak menjawab hingga turunnya wahyu. Dengan bimbingan wahyu pula, misalnya Rasulullah menjawab tentang haid, anfal, ruh dan sebagainya.
Untuk memastikan apakah suatu ketetapan itu berdasar wahyu atau hanya pendapatnya sendiri, para shahabat tidak segan-segan bertanya kepada Rasulullah langsung. Maksudnya, bila itu wahyu mereka akan mengikuti dengan mutlak (sami'na wa atha'na). Tapi bila bukan, dan mereka punya pemikiran lain, maka mereka akan berdialog dengan nabi, seperti yang dilakukan oleh Khabab bin Mundzir menyangkut strategi perang Badar. Dalam persoalan strategi perang Uhud, setelah bermusyawarah, Rasulullah malah mengikuti pendapat mayoritas para shahabat yang menginginkan pasukan Islam keluar Madinah menjemput musuh, dan meninggalkan pendapatnya sendiri yang menginginkan pasukan Islam tetap tinggal di dalam kota. Itu semua menunjukkan bahwa apa yang dikatakan, dilakukan dan diamnya Rasul adalah wahyu. Bila Rasulullah boleh berkata bebas, tentu Rasulullah tidak perlu menunggu hingga turun wahyu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, dan para shahabat tidak perlu bertanya apakah itu wahyu atau bukan.
Dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan risalah, seperti persoalan penyerbukan korma yang bisa diartikan juga mencakup hal lain yang berkaitan dengan sains dan teknologi, misalnya soal pembangunan gedung, jembatan, pertanian, teknik kedokteran, eksplorasi minyak dan sebagainya Rasulullah mengatakan: "antum a'lamu bi umuri dunyakum" (engkau lebih mengetahui urusan dunia (sainstek) mu). Artinya, dalam soal-soal seperti tersebut di atas, Rasulullah menyerahkan penyelesaiannya kepada kemampuan penguasaan sains dan teknologi, bukan risalah Islam atau al-Qur'an dan al-Hadits.
Para nabi dan rasul juga maksum dalam perbuatan yang termasuk kategori dosa besar (al-kabair) ataupun kecil (al-shaghair). Melakukan suatu dosa berarti telah terjerumus dalam kemaksiyatan. Maksiyat artinya meninggalkan kewajiban (fardhu) dan melakukan larangan (haram). Bila kemaksiyatan telah mewarnai perbuatan seorang nabi atau rasul, maka mungkin pula itu akan mempengaruhi tugasnya dalam penyampaian risalah. Artinya, akan terjadi kemungkinan penyimpangan dalam penyampaian risalah. Oleh karena itu, para nabi dan rasul bersifat maksum terhadap dosa besar atau kecil, sebagaimana mereka maksum dalam persoalan penyampaian risalah.
Kepercayaan terhadap kemaksuman Rasulullah merupakan bagian dari aqidah Islam. Yang ingkar, berarti ia ingkar pula terhadap aqidah Islam. Dengan keyakinan ini, akan terbina keyakinan terhadap kebenaran mutlak ajaran-ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah kepada kita.

MENGABAIKAN AL QUR'AN

Al Qur'anul Karim adalah kitabullah, wahyu Allah atas kalamNya yang diturunkan kepada hambanya yang ummi, yaitu Muhammad SAW. Al Qur'an adalah jalan lurus dan ikatan yang amat kuat sebagai pegangan setiap mukmin agar mereka selamat dan memperoleh kebahagiaan dalam mengarungi hingar bingarnya dunia. Tidak cukup sekedar itu, Allah SWT. memerintahkan kepada kaum muslimin agar menerapkan seluruh perintahnya (hukum-hukumnya) yang terkandung didalamnya tanpa kecuali. Ia laksana cahaya petunjuk bagi orang-orang yang meminta pertolongan dan sinar terang bagi orang yang membutuhkan kejelasan. Maka semua itu tidak akan kita peroleh apabila langkah pertama, yaitu membaca al Qur'an, tidak pernah kita jalankan. Alangkah tepatnya perumpamaan orang-orang yang membaca al Qur'an dengan berbagai sifat pembacanya. Sabda Nabi SAW:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الْأُتْرُجَّةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ التَّمْرَةِ لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ
"Perumpamaan orang mukmin yang membaca al Qur'an seperti buah utrujah; baunya harum dan rasanyapun enak. Perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca al Qur'an seperti buah tamar/kurma; tidak berbau wangi akan tetapi rasanya enak. Perumpamaan orang munafik yang membaca al Qur'an seperti buah raihanah; baunya wangi tetapi rasanya pahit. Perumpamaan orang munafiq yang tidak membaca al Qur'an seperti buah hanzhalah; tidak wangi dan rasanya pahit" (H.R. Bukhari dan Muslim)

Begitulah perumpamaan yang digambarkan Rasulullah SAW., alangkah indahnya jika kita termasuk kelompok yang pertama, yakni orang mukmin yang sering membaca al Qur'an, yang mampu memancarkan keharuman al Qur'an karena memang bacaan itu ditujukan untuk diterapkan dan ditegakkan di atas dunia, bukan sekedar hiasan di bibir saja.
Meskipun demikian amat disayangkan bila pada masa sekarang telah bermunculam sekelompok orang yang telah disinggung dalam hadits-hadits Nabi SAW., yaitu oarang-orang yang kelihatannya amat tekun dan memberi perhatian kepada al Qur'an (Islam) akan tetapi mereka tidak tergolong dalam kelompok kaum muslimin. Begitu pula di tengah-tengah umat telah terjadi tiadanya penghargaan atau peyimpangan tergadap kedudukan al Qur'an yang dimuliakan Allah SWT., dengan alpanya kaum muslimin mengkaji dan mengamalkan al Qur'an. Simaklah kiranya hadits-hadits di bawah ini:

"(Kelak) akan muncul diantaramu suatu kaum, dimana kalian merasa (lebih) rendah dalam melakukan shalat dibandingkan mereka, (begitu juga) puasa kalian dibandingkan mereka dan amal perbuatan kalian dibandingkan amal perbuatan mereka. Mereka membaca al Qur'an akan tetapi tidak sampai melalui tenggorokannya. Mereka sebenarnya telah keluar dari agama bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya. Apabila dilihat ujung anak panahnya, kayunya serta bulumya tidak terdapat apa-apa, (mereka) hanya berlomba-lomba pada senarnya saja." (H.R. Bukhari dan Muslim).
أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ بِالْجِعْرَانَةِ مُنْصَرَفَهُ مِنْ حُنَيْنٍ وَفِي ثَوْبِ بِلَالٍ فِضَّةٌ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبِضُ مِنْهَا يُعْطِي النَّاسَ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ اعْدِلْ قَالَ وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ لَقَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعْنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَأَقْتُلَ هَذَا الْمُنَافِقَ فَقَالَ مَعَاذَ اللَّهِ أَنْ يَتَحَدَّثَ النَّاسُ أَنِّي أَقْتُلُ أَصْحَابِي إِنَّ هَذَا وَأَصْحَابَهُ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْهُ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ *
Seorang lelaki telah datang menemui Rasulullah s.a.w di Ja'ranah setelah kembali dari Peperangan Hunain. Pada pakaian Bilal terdapat perak dan Rasulullah s.a.w mengambil darinya untuk dibahagikan kepada orang ramai. Lelaki yang datang itu berkata: Wahai Muhammad! Kamu hendaklah berlaku adil. Rasulullah s.a.w bersabda: Celakalah kamu! Siapa lagi yang lebih berlaku adil؟ Jika aku tidak adil. Pasti kamu yang rugi, jika aku tidak berlaku adil. Umar bin al-Khattab r.a berkata: Biarkan aku membunuh si munafik ini, wahai Rasulullah! Rasulullah s.a.w bersabda: Aku berlindung dengan Allah dari kata-kata manusia bahawa aku membunuh sahabatku sendiri. Sesungguhnya orang ini dan teman-temannya membaca al-Quran tetapi tidak melampaui kerongkong mereka iaitu tidak mengambil faedah dari apa yang mereka baca bahkan mereka hanya sekadar membacanya sahaja. Mereka menyudahi bacaan al-Quran sebagaimana anak panah menembusi binatang buruan *

"Kelak akan muncul suatu kaum dari umatku, mereka membaca al Qur'an seperti meminum susu" (H.R. Thabarani)

"Kelak pada akhir zaman nanti akan ada ulat-ulat qurra' (ahli baca al Qur'an). Barangsiapa yang berada pada masa itu, hendaklah ia berlindung kepada Allah dari mereka." (H.R. Abu Nu'aim)

"Hampir muncul di tengah-tengah manusia suatu zaman dimana agama Islam tidak trsisa lagi kecuali hanya tinggal namanya saja dan tidak tersisa dari al Qur'an kecuali huruf-hurufnya saja" (H.R. Baihaqi)

"Hampir tiba masanya bahwa diantara kalian ada yang (tengah) duduk di kursi, kemudian disampaikan sebuah hadits dariku, lalu mereka menjawab; 'di hadapan kami cukup kitab Allah saja, apa yang kami dapati (didalamnya) halal, maka kami halalkan. Dan apa yang kami dapati haram, kami haramkan.' Ingatlah bahwa apa yang diharamkan oleh Rasulullah sama saja dengan apa yang diharamkan oleh Allah." (H.R. Ahmad, Hakim dan Ibnu Majah)
Beberapa penggal hadits di atas mewakili beberapa keadaan umat saat ini yang amat memprihatinkan dan menusuk perasaan seorang mukmin, jika ia masih mencintai al Qur'an dan Rasulullah SAW. Oleh karena itu berhati-hatilah terhadap peringatan yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW ini sejak 15 abad yang lampau, karena beliau amat mencintai umatnya dan agar kita diberi keterangan, penjelasan agar berhati-hati jika berjumpa dengan fenomena seperti itu.

MAKNA IMAN KEPADA HARI KIAMAT

Hari kiamat (yaumu al-qiyamah) termasuk perkara ghaib yang tidak dapat diindera (ghairu makhsus). Akal juga tidak dapat menjangkau (lam yudrak al-'aql). Bila demikian, dari mana kita mengetahui perihal hari kiamat dan bagaimana bisa beriman kepadanya? Kita mengetahui ihwal tentang hari kiamat karena Allah dan RasulNya memberitahukan hal itu kepada kita. Maka, pengetahuan kita tentang hari kiamat hanya diperoleh melalui dalil naqly (al-Qur'an dan al-Hadits). Tidak ada cara lain. Dan kita beriman terhadap semuanya karena kita telah membuktikan secara rasional bahwa al-Qur'an dan al-Hadits yang diantaranya mengabarkan tentang hari kiamat adalah benar-benar kalamullah (firman Allah).
Karena hari kiamat tidak dapat diindera dan akal tidak dapat menjangkaunya, tidak sedikit orang lantas mengingkarinya. Merekalah orang yang hanya percaya terhadap sesuatu yang logis dan empiris. Cara berfikir demikian dibantah Allah.

"Orang-orang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak dibangkitkan. Katakanlah, tidak demikian, Demi Tuhanku, kalian benar-benar pasti dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Hal demikian adalah mudah bagi Allah" (al-Thagabun:7)

Maka;
1. Hari kiamat pasti akan tiba. Kapan persisnya, hanya Allah
saja yang tahu. Kita hanya akan tahu tanda-tandanya saja.

"Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba." (al-A'raf :187)

2. Diantara tanda-tanda hari kiamat, sebagaimana tersebut dalam
beberapa hadits, adalah:

"Di tengah masyarakat berkembang perzinaan dan minuman keras serta kejahatan lain. Banyaknya mode pakaian telanjang, penyalahgunaan jabatan. Kaum muslimin menguasai pusat kekuasaan Nashrani di Roma dan tersebarnya Islam ke seluruh dunia. Peperangan antara umat Islam dan Yahudi berakhir. Umat Islam menang.
Munculnya Muhammad al-Mahdi di bumi untuk menegakkan kekuasaan Islam. Turunnya Nabi Isa untuk meluruskan ajaran Nashrani, menghacurkan salib, menegakkan kebenaran berdasarkan syariat Islam. Munculnya Daabbah (binatang ajaib) yang dapat berbicara kepada manusia untuk menunjukkan kepalsuan dan ketidakbenaran ajaran semua agama selain Islam, serta mengingatkan orang yang tidak percaya kepada ayat Allah. Matahari akan terbit dari Barat yang itu terjadi setelah Nabi Isa wafat. Saat itulah pintu taubat tertutup. Kemudian Allah mengirimkan kabut tipis yyang menyebakan kematian seluruh kaum muslimin dan tinggallah orang kafir. Terjadi gempa bumi di Timur dan Barat serta selujuh Jazirah Arab disertai munculnya api di daerah Yaman, sehingga orang berlari ke arah Syam. Di sini mereka mati setelah ditiup sangkakala. Pada saat itulah Kiamat terjadi."

3. Hari kiamat adalah hari berakhirnya semua kehidupan makhluk di dunia, dan merupakan awal dari kehidupan yang kekal di akhirat.

"Dan mereka bertanya padamu tentang gunung-gunung, maka katakanlah: Tuhanku akan menghancurkannya (di hari kiamat) sehancur-hancurnya, maka Dia kan menjadikan (bekas) gunung-gunung itu datar sama sekali, tidak ada sedikitpun kamu lihat padanya tempat yang rendah dan yang tinggi-tinggi" (Thaha:105-107)

"Apabila matahari digulung, dan apabila bintang-bintang berjatuhan, dan apabila gunung-gunung dihancurkan , dan apabila unta-unta bunting ditinggalkan, dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan, dan apabila lautan dijadikan meluap, dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh), apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh, dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia) dibuka, dan apabila langit dilenyapkan, dan apabila neraka jahim dinyalakan, dan apabila surga didekatkan, maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya." (al-Takwiir:1-14)

4. Setelah hari kiamat, semua manusia akan dibangkitkan kembali pada Hari Kebangkitan (yaumu al-ba'ts). Pada hari itu, manusia teringat semua perbuatannya di dunia.

"Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kamu semua akan dibangkitkan di hari kiamat" (al-Mu'minun:16)

"Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya. Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna" (al-Qiyamah:1-4)


5. Manusia keluar dari kubur pada hari kiamat sesuai amalnya.
Di hari itu perbuatan tersebut akan dihisab oleh Allah Hakim yang Maha Adil. Anggota tubuh manusia menjadi saksi.

"Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka balasan pekerjaan mereka" (al-Zalzalah:6)

"Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seorang barang sedikitpun. Dan jika (amalah itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahalanya). Dan cukuplah Kami menjadi orang-orang yang membuat perhitungan." (al-Anbiya:47)

"Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya. Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya" (al-Qiyamah:13-15)

"Pada hari ini (kiamat) Kami tutup mulut mereka, dan berkata kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan." (Yasin:65)

6. Berdasar amalnya masing-masing, manusia kemudian dikelompokkan kedalam dua golongan: golongan kanan (ashabu al -maymanah). Dialah ahli surga (ashab al-jannah), dan golongan kiri (ashabu al-mas'amah). Dialah ahli neraka (ahl al-naar).

"Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab diantara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya. Barang siapa yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang dapat beruntung. Dan barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahanam" (al Mukminuun:101-103).

7. Iman kepada hari kiamat mendorong amal shaleh dan menjauhi maksiyat. Setelah kiamat tidak ada lagi kesempatan berbuat baik. Manusia tinggal memetik hasilnya, yakni segala yang dilakukannya di dunia. Iman kepada hari kiamat, mendorong amal shaleh, karena kehidupan di dunia inilah satusatunya kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang baik di akherat yang kekal. Orang yang mengabaikan kesempatan ini akan menyesal.

"Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya, dan orang kafir berkata: "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah." (an-Naba':40)

"Dia mengatakan: "Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini." (al-Fajr:24).


Kawin Beda Agama

Haram
Dalam pandangan hukum Islam, wanita Islam haram menikah atau dinikahi oleh lelaki non-muslim. Dalilnya sangat jelas.

"Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu perempuan-perempuan mukmin yang berhijrah hendaklah mereka kamu uji lebih dulu. Allah lebih mengetahui iman mereka. Jika kamu telah dapat membuktikan bahwa mereka itu benar-benar beriman, maka janganlah mereka kembalikan kepada orang-orang kafir. Mereka ini (wanita yang beriman) tidak halal bagi laki-laki kafir. Dan laki-laki kafir pun tidak halal bagi mereka" (al-Mumtahanah:10)

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqush Sunnah menyebut, bahwa dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada kaum mukminin, jika mereka didatangi oleh perempuan-perempuan yang hijrah dari Makkah ke Madinah, hendaklah mereka diuji lebih dulu. Bila terbukti benar keimanan mereka, janganlah dikembalikan kepada suami-suami mereka yang masih kafir karena wanita mukmin tidak halal buat laki-laki kafir, begitu sebaliknya. Yang dimaksud menguji adalah menanyakan motifasi mereka hijrah ke Madinah dan meninggalkan suami mereka. Apakah mereka hijrah karena cintanya kepada Allah dan Rasul serta rindu kepada Islam, atau karena sebab lain. Ayat ini sekaligus menunjukkan bahwa wanita beriman haram untuk dinikah atau menikah dengan laki-laki kafir (musyrik atau ahli kitab).
Maka menurut Dr. Quraish Shihab, rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, status perkawinan Ira-Katon tidak sah (Republika, 3 November 1996). Kalau tidak sah, berarti mereka sama saja tidak atau belum menikah, dong? Prof. Asjmuni Abdurrahman, ahli fikih IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menjawab tegas, ya. "Dari kacamata Islam, mereka tidak melakukan pernikahan," ujar Prof Asjmuni (Gatra, 9 November 1996). Bila mereka dari kacamata Islam tidak melakukan pernikahan, tapi tetap terus kumpul layaknya suami istri, lalu apa namanya? Zina? Apa sih, yang dimaksud dengan zina?


Zina
Sepakat para ulama, bahwa yang dimaksud dengan zina adalah hubungan kelamin laki-laki atas kelamin wanita yang tidak halal disetubuhi oleh laki-laki itu, atau tanpa ikatan pernikahan. Zina dalam Islam adalah perbuatan yang sangat dikutuk. Jangankan berzina, mendekati saja sudah dilarang.

"Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan merupakan jalan yang buruk" (al-Isra':32)

Untuk menghindari zina, maka Islam menurunkan sejumlah hukum yang mengatur pergaulan laki-laki dan perempuan. Diantaranya, kewajiban menutup aurat (untuk wanita memakai jilbab), perintah untuk menundukkan pandangan, larangan khalwat (menyendiri dengan wanita atau laki-laki), larangan wanita bepergian kecuali dengan mahram, aturan pernikahan dan sebagainya.
Bagi yang telah berzina, tanpa ampun Islam menetapkan hukuman yang sangat keras. Dalam kejahatan pembunuhan, hukuman qishash (tuntutan nyawa atas pelaku pembunuhan) dapat dibatalkan bila ahli waris korban memberi maaf. Tapi dalam zina, tidak ada seorangpun, pemimpin negara sekalipun, yang berhak mengampuni. Hukuman harus dijatuhkan kepada kedua pelaku zina. Bila pelaku masih belum pernah nikah (ghairu muhsan), hukumannya dijilid (dipukul punggunggnya dengan suatu alat pemukul) 100 kali.

"Pezina perempuan dan pezina laki-laki, maka jilidlah keduanya masing-masing 100 kali" (al-Nuur:2)

Adapun bila pelaku zina adalah mereka yang sudah menikah atau pernah menikah (muhsan), hukumannya adalah dirajam sampai mati. Hal ini didasarkan pada banyak hadits, diantaranya menceritakan bahwa Rasulullah merajam Maiz, setelah ia mengaku berzina.
Bagaimana bila pelaku zina itu bukan orang Islam? Mereka tetap saja dijilid atau dirajam. Dalam sebuah hadist riwayat Bukhari Muslim, diceritakan bahwa Rasulullah pernah merajam orang Yahudi.


Keluarga Sakinah
Bisa dipastikan bahwa setiap orang yang menikah ingin merasakan kebahagiaan. Berbagai cara, bahkan kadang yang bertentangan dengan tuntunan agama yang dipeluknya pun, ia tempuh. Dengan cara itu mungkin ia memang bisa merasakan kebahagiaan, tapi kebahagiaan yang begitu biasanya sifatnya hanyalah sementara. Selebihnya, ia mulai dihinggapi berbagai persoalan keluarga yang silih berganti, kait mengait seperti benang kusut yang sulit diurai. Hasilnya adalah kesedihan, duka dan air mata.
Sebagai agama yang diturunkan Allah Sang Pencipta, Islam telah memberikan tuntunan yang sangat jelas. Bahwa dasar yang utama, bahkan satu-satunya dasar, pernikahan yang menjamin kebahagiaan dunia dan akhirat adalah agama (Islam). Dalam mencari pasangan, Rasulullah menuntunkan agar lebih memperhatikan kualitas agama calon pasangannya.

"Perempuan itu dikawini karena empat perkara, karena kecantikannya, atau karena keturunannya, atau karena hartanya atau karena agamanya. Maka pilihlah yang karena agamanya. Niscaya engkau akan bahagia" (HR. Bukhari Muslim)

Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Hasan bin Ali, "Saya punya seorang putri. Siapakah kiranya yang patut jadi suaminya menurut Anda?". Jawab Hasan bin Ali, "Seorang laki-laki yang bertakwa kepada Allah (muslim). Sebab jika ia senang, ia akan sudi menghormatinya dan jika ia sedang marah, ia tak suka berbuat zalim kepada istrinya". Tentang kriteria seorang calon suami, Ibnu Taimiyyah berkata, "Laki-laki yang selalu berbuat dosa tidak patut dijadikan suami". Seorang yang beragama selain Islam, di mata Allah, adalah orang yang hidup senantiasa bergelimang dosa.
Jelaslah, kata kuncinya adalah agama, karena ia akan senantiasa menghiasi setiap sisi kehidupan keluarga. Dengan agama, orang akan memiliki kepribadian yang teguh, dan sebuah keluarga akan memiliki pijakan yang kokoh, tempat kembali segala persoalan. Tanpa agama, sebuah keluarga akan berjalan bagai biduk berlayar tanpa arah. Dan agama yang dimaksud tentu saja adalah agama Islam yang dipeluk dengan sebaik-baiknya baik oleh istri maupun suami.
Bagaimana bila suami-istri beda agama? Selain dosa dan ancaman hukuman yang semestinya ia tanggung, Prof. Dr. Dadang Hawari dalam buku Ilmu Jiwa al-Qur'an (1996) menyatakan bahwa dari pengalaman praktek konsultasi perkawinan yang ia lakukan menunjukkan bahwa pada kasus perkawinan beda agama, ternyata masing-masing pasangan bukannya semakin bertambah keimanan terhadap agama mereka masing-masing, tapi yang terjadi sebaliknya semakin lemah. Sementara keluarga yang lemah agamanya mempunyai risiko 4 kali lebih besar menjadi keluarga yang rusak (broken home), ketimbang keluarga yang kuat agamanya.
Ini dapat dijelaskan dari kaca mata psikologi perkawinan, bahwa perkawinan yang langgeng salah satunya ditentukan akan faktor kesamaan. Semakin banyak kesamaan antara suami istri (pendidikan, latar belakang keluarga terutama dari segi agama), maka perkawinan itu akan semakin baik. Bila keduanya menyadari bahwa terdapat banyak perbedaan, maka untuk mempertahankan biduk pernikahan, keduanya harus mau saling menenggang dengan cara melepaskan sebagian pada titik-titik perbedaan itu. Bila hal yang berbeda adalah agama, maka demi kelangsungan pernikahan, mereka akan cenderung untuk melepaskan sebagian kecil atau besar dari prinsip-prinsip agama masing-masing agar di dalam keluarga tercipta suasana keriangan yang mereka inginkan, dimana itu tidak mukin dicapai bila masing-masing bersikukuh dengan prinsip agama masing-masing. Dari itu maka sangat wajar bila terdapat kecenderungan, bahwa keluarga pasangan beda agama tidaklah terlalu memperhatikan agama, termasuk ketika mereka mendidik anak. Jadilah keluarga itu, keluarga yang tipis rasa keagamaannya. Padahal, tanpa agama bagaimana sebuah keluarga bisa merasa bahagia?
Kembali ke Ira. Bila hukumnya sudah tahu dilarang, para ulama juga sudah memberikan penilaiannya secara tegas, konsekuensi hukuman yang harus ditanggung pun juga sangat berat karena status hubungan itu seperti zina seumur-umur, lalu secara empirik, menurut Prof. Dadang Hawari, juga sudah membuktikan sulit membentuk keluarga ideal dari pasangan yang beda agama, belum lagi dosa yang harus ditanggung di akherat kelak

PENGAWASAN MELEKAT

 Alkisah, suatu hari seorang pemuda tengah mengembalakan sejumlah biri-biri di sebuah padang rumput. Datang kepadanya Amirul Mukminin, Khalifah Umar bin Khathab. Menjadi kebiasaan Umar, sebagai pemimpin umat Islam, bepergian ke berbagai tempat untuk berjumpa secara langsung dengan rakyatnya. Ia ingin merekam denyut kehidupan masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya. Jangan-jangan, tanpa sepengetahuannya, terjadi ketidakberesan aparat dalam mengurusi negara ini. Ia tidak menginginkan ada sebagian umat Islam yang menderita karenanya. Demikianlah, kali ini Umar menemui pemuda penggembala biri-biri. Tapi di luar dugaan, pemuda yang tampak amat sederhana dan pekerjaannya pun "hanya" menggembala biri-biri, ternyata menyimpan semangat keimanan yang luar biasa. Hal itu tampak ketika Khalifah Umar hendak "menguji" kejujuran pemuda itu dengan mengatakan, "Wahai pemuda, serahkan seekor biri-birimu kepadaku". Pemuda itu ternyata tidak begitu saja memenuhi permintaan Umar. Ia berkilah, "Biri-biri ini bukan milikku". "Apa yang akan aku katakan kepada majikanku bila dilihat biri-biri kepunyaannya berkurang dari jumlah semula," jelas pemuda itu. "Katakan saja kepada majikanmu, seekor serigala telah menerkam biri-biri itu," kata Umar memberi jalan. Apa komentar pemuda lugu mendengar siasat busuk yang diberikan Umar? "Fa aina Allah - lantas di mana Allah", jawab pemuda itu tegas. Maksudnya, bisa saja ia membohongi majikannya, tapi tentu tidak terhadap Allah. Allah Yang Maha Melihat pasti akan tahu perbuatan curangnya itu. Umar tentu saja tidak bersungguh-sungguh mengajari pemuda itu untuk berlaku curang. Ia hanya bermaksud menguji iman pemuda itu. Dan kini ia begitu bangga dan bersyukur mendapati pemuda sederhana, bagian dari rakyatnya, yang hidup di pedesaan ternyata memiliki keteguhan iman yang mengagumkan.
Pemuda tadi telah mengajarkan kepada kita secara praktis apa yang disebut Ihsan. Ihsan adalah keadaan pada diri seseorang yang dia merasa senantiasa diawasi Allah dalam segenap perbuatan lahir atau batin. Terdapat sebuah hadits sahih riwayat Bukhari dari Umar bin Khatab yang menjelaskan pengertian Ihsan.
بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنْ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنْ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا قَالَ صَدَقْتَ قَالَ فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِيمَانِ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ قَالَ صَدَقْتَ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِحْسَانِ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Kita jelas tidak dapat melihat Allah. Sebaliknya, Allah pastilah dapat melihat kita. Hanya saja, bagaimana cara Allah melihat kita, itu tidak penting dan tidak perlu, bahkan jangan sekali-kali mencari tahu karena usaha itu pasti akan sia-sia. Tentang bagaimana Allah melihat, mendengar, berkehendak dan sebagainya Al Qur'an hanya mengatakan "laysa ka mitslihi syaiun" (tidak ada sesuatupun yang menyerupainya)". Jadi, kita sama sekali tidak mampu menggambarkan sedikitpun tentang perbuatan-perbuatan Allah. Yang kita tahu adalah sifat-sifat Allah, itupun karena Allah sendiri yang mengabarkan - dengan Al Qur'an - kepada kita.
Kendati demikian Al Quran telah memberikan petunjuk, bahwa kita memang tidak sedikitpun bisa lepas dari pengawasan Allah. Untuk hal ini, Allah ternyata telah menciptakan anggota tubuh kita pandai berkata-kata di akhirat nanti untuk menceritakan semua yang kita lakukan selama hidup di dunia.
حَتَّى إِذَا مَا جَاءُوهَا شَهِدَ عَلَيْهِمْ سَمْعُهُمْ وَأَبْصَارُهُمْ وَجُلُودُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ(20)وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
"Sehingga apabila mereka samapi ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka: "Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?" Kulit mereka menjawab: "Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.(Fushshilat:20-21)
Manusia akan dibuat tercengang karenanya. Bagaimana mungkin mata, telinga dan kulit yang selama di dunia diam seribu-basa serta tunduk mengikuti apa kemauan empunya, kini berkata lepas menceritakan semua yang pernah terjadi? Dan anggota tubuh itu kini semua menjadi saksi-saksi yang sangat obyektif, jujur dan apa adanya. Itu berbeda sama sekali dengan saksi dalam peradilan dunia yang acap berkata dusta, ingkar, cenderung meringankan atau memberatkan tertuduh.
Manusia pada umumnya memang menyangka bahwa Allah tidak tahu apa yang mereka lakukan, khususnya bila itu menyangkut tindak maksiat yang sudah diusahakan sekuat mungkin agar tersembunyi dari pengamatan orang. Tapi ternyata justru mata, telinga, bahkan kulitnya sendiri itulah yang menjadi saksi atas perbuatannya. Terang saja, bagaimana mungkin manusia bisa lepas dari pengamatan organ yang selama hidup menempel di tubuhnya sendiri. Inilah pengawasan melekat yang sungguh-sungguh melekat.
وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ
Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu. Bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka terhadap Tuhanmu, Dia telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi" (Fushshilat:23)
Umumnya manusia seakan sudah merasa aman ketika ia berbuat maksiyat di tempat tersembunyi atau menutup jalan dari penglihatan orang lain. Ketika seseorang pergi ke Puncak berkencan dengan wanita bukan istrinya, ia merasa tidak akan ada seorangpun - termasuk anak istrinya - tahu. Begitu juga ketika seorang koruptor memanipulasi uang negara dengan mereka-reka kuitansi fiktif, yakin akan terhindar dari pengawasan atasannya. Ketika seorang pedagang tega mengurangi timbangannya, atau pemborong seenak perutnya menyimpangkan bangunan dari bestek, semua itu dengan ringan dilakukan karena menyangka tidak ada yang tahu. Juga, ketika seorang pembunuh menghapus jejaknya dan mengubur korban berikut barang bukti yang sekiranya dapat menyeretnya ke pengadilan, yakin bahwa tak seorangpun tahu akan perbuatannya. Atau seorang hartawan yang selalu mengobral cerita tentang kedermawanannya, berlaku seolah Allah tidak tahu amal perbuatannya. Pamer, riya' atau ingin pujian orang lain atas perbuatan baiknya sesungguhnya bersumber dari ringkihnya keyakinan pelaku akan ke-Maha Tahuan Allah. Sama dengan orang yang pelesir ke puncak tadi yang menganggap Tuhan seolah-olah hanya ada di masjid. Sementara di Puncak tidak ada Tuhan. Juga mereka yang berbuat jahat sambil sembunyi-sembunyi atau menyembunyikan perbuatannya, menyangka seolah-olah tidak ada sesuatupun yang tahu. Padahal penglihatan, pendengaran, dan kulit menyaksikan semua tingkahnya.
Akan halnya mulut yang selama ini sering digunakan tidak saja sebagai alat komunikasi tapi juga untuk membikin alibi, cerita bohong atau berkilah dari perbuatan yang sebenarnya ia lakukan, kelak diakhirat akan di"tamat"kan fungsinya. Sebagai gantinya, Allah - sebagaimana mata, telinga dan kulit - membiarkan tangan dan kaki berkata sejujurnya tentang apa yang telah dilakukan oleh tuannya. Mereka beramai-ramai menjadi saksi yang tidak mungkin dapat dibeli ataupun diintimidasi. Saksi yang tidak memiliki kepentingan apapun atas persaksiannya. Pernahkah Anda menjumpai saksi semacam ini?
الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan" (Yasin:65(
Ibadah Membentuk Ihsan
Ibadah merupakan manifestasi ketundukan hamba kepada Khaliqnya. Melalui ibadah, seorang muslim dapat berhubungan langsung dengan Allah. Bila ibadah dilakukannya dengan baik, ia akan merasa berhadapan dengan Allah, dan Allah menyaksikan kehadirannya. Perasaan senantiasa diawasi oleh Allah yang kemudian memunculkan sikap khasyatullah (takut kepada Allah) itulah buah ibadah. Dalam realitas kehidupan sehari-hari rasa takut kepada Allah akan senantiasa mendorongnya untuk tunduk kepada aturan Allah, melaksanakan kewajiban dan sunnah serta menjauhi yang dilarangNya. Salah satu ibadah yang sangat menempa rasa "diawasi Allah" (Ihsan) adalah puasa. Allah, sebagaimana termaktub di dalam surah Al Baqarah ayat 183, memerintahkan kepada orang beriman, bukan orang lain, untuk berpuasa. Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan ditujukan hanya kepada orang yang beriman, karena hanya mereka saja yang mampu melaksanakan kewajiban itu. Mengapa?
Puasa adalah ibadah yang banyak memerlukan pengendalian diri. Tidak ada seorang pun dapat berpuasa dengan baik kecuali dia memiliki pengendalian diri yang baik pula. Misalnya saja, dari mana kita bisa menjamin bahwa orang yang tengah berpuasa tidak memakan apa-apa di siang hari bolong di tempat yang tersembunyi? Juga, ketika mengambil air wudhu, kendali macam apa yang mampu menahan dia untuk tidak menghirup walau seteguk air sekedar melepas dahaga? Dan ketika waktu sahur sudah habis, kendati cuma beberapa detik berlalu, siapa yang menahan seseorang untuk tidak meneruskan makannya? Atau, kekuatan apa yang menahan seseorang untuk tidak segera berbuka padahal waktu maghrib tinggal beberapa menit lagi? Itulah kendali iman, yakni keyakinan kepada Allah yang bersemayam di dalam dada seorang muslim.
Ketika seorang muslim telah menjalankan puasanya dengan baik, sesungguhnya ia telah mempraktekkan pula prinsip Ihsan dengan baik. Dengan Ihsannya ia mengendalikan diri untuk tidak melanggar larangan-larangan puasa. Ia yakin Allah senantiasa melihatnya. Percuma saja ia menipu dengan meneguk setetes air misalnya, karena Allah pasti tahu. Dan batallah puasanya. Ia mungkin saja tampak oleh orang lain masih tetap berpuasa, dan turut berbuka bersama keluarga. Tapi, ia tidak mungkin membohongi dirinya sendiri bahwa tadi siang ia telah meminum setetes air, dan semenjak itu sesungguhnya ia tidak dalam keadaan berpuasa lagi. Inilah Ihsan yang dapat terbentuk selama menjalankan ibadah puasa.
Ihsan dan Kehidupan Modern
Seorang bankir terkemuka, bekas direktur utama sebuah bank swasta nasional yang cukup besar, pernah menyatakan dalam suatu diskusi, bahwa tidak ada sistem perbankan secanggih apapun yang mampu menahan seorang bankir untuk berbuat curang - kecuali imannya kepada Tuhan. Kita menilai, pernyataan ini memiliki bobot yang tinggi, karena ia muncul dari seseorang yang telah sekian tahun lamanya bergelut sebagai praktisi perbankan yang acap dinilai orang sebagai dunia yang penuh kolusi dan manipulasi. Ia tentu sudah mengalaminya secara langsung bagaimana sulitnya mengendalikan sekian sistem yang digerakkan oleh manusia yang rentan terhadap godaan harta. Hanya keteguhan moral para karyawan, pimpinan dan direksi saja yang dapat menjamin mekanisme perbankan itu dapat berjalan sewajarnya. Di sinilah peran kendali diri, yang disebut oleh bankir kita tadi. Dan itu tidak lain adalah Ihsan yang tengah kita bicarakan.
Perasaan senantiasa diawasi Allah, yang sudah terbentuk ketika ia menjalankan ibadah puasa, semestinya tercermin pula di dalam aspek kehidupan yang lain. Tetapi sayangnya itu berhenti hanya pada kegiatan puasa di bulan Ramadhan. Selepas itu, agaknya cukup banyak manusia yang berbuat tanpa kendali. Ia berbuat seolah-olah pengawasan Allah, mata, telinga, tangan, kaki dan kulit mereka hanyalah sebatas amal ibadah puasa di bulan Ramadhan saja. Bila ini terjadi, berarti sebagai muslim ia hanya terikat kepada keIslamannya sebatas masalah ibadah; di luar itu tidak. Kemuslimannya telah mengalami reduksi. Islam, agama yang memberi petunjuk hidup dalam semua aspek, kini tinggal sebatas ibadah.
Bila seorang muslim dengan Ihsannya dapat menjaga hubungan dengan Allah, seperti tatkala ia berpuasa, maka semestinya ia menjaga hubungan dengan manusia yang lain dengan cara sebaik-baiknya pula. Ia tidak menipu, apalagi mencuri atau merampok untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Ia juga tidak akan berjuang untuk sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Allah. Atau menetapkan hukum di luar hukum Allah, menyebarkan paham, pemikiran, tingkah laku, dan budaya yang tidak Islamy. Ia lakukan semua lantaran Allah senantiasa melihatnya. Dan ia yakin, anggota tubuhnya kelak akan menjadi saksi dari perbuatannya.
Pernyataan bankir tadi menunjukkan kepada kita bahwa konsep Ihsan ternyata tetap relevan di jaman modern sekalipun sekarang ini. Bahkan banyak fakta membuktikan, kesemrawutan birokrasi di negeri ini berpangkal dari lemahnya etik-moral para birokrat - yang itu bermuara dari lemahnya pengendalian diri. Men PAN mestinya tidak perlu memikirkan sistem pengawasan bertingkat ataupun pengawasan melekat (waskat) di setiap departeman bila di dada setiap birokrat tertanam sikap Ihsan. Para istri juga tidak perlu cemas melepas suami pergi ke luar rumah, atau berusaha keras sampai kadang menempuh cara yang tidak logis agar suami tetap setia, bila suami senantiasa berbekal Ihsan ke mana saja ia pergi. Mungkin juga polisi tidak perlu cemas kejahatan akan cenderung meningkat bila Ihsan telah tertanam di dana manusia-manusia. Ihsan itulah yang mengotrol para birokrat agar berlaku jujur. Ihsan pula yang mengendali para suami untuk hanya bergaul dengan istrinya, serta menahan calon penjahat dari tindak kejahata yang hendak dilakukannya. Dari situ, polisi semestinya tidak perlu bekerja keras mengawasi keamanan masyarakat, karena sudah terdapat pengawas yang benar-benar melekat. Itulah mata, telinga, tangan, kaki dan kulit yang melekat pada diri manusia yang tentu sangat bisa diandalkan. Masyarakat tentu akan aman sentausa. Insya Allah