Sabtu, 21 Februari 2009

KEMAKSUMAN RASUL

 Para nabi dan rasul pasti maksum dalam hal penyampaian risalah (tabligh). Artinya, mereka terbebas dari kemungkinan melakukan kekeliruan dalam menyampaikan wahyu atau risalah Islam. Sebab, bila ada kekeliruan yang dilakukan oleh seorang rasul dalam satu masalah saja, berarti ada kemungkinan terjadinya kekeliruan atau cacat pada masalah lain bahkan dalam seluruh masalah. Jika itu terjadi, maka rusaklah nilai kenabian dan kerasulan secara keseluruhan karena risalah yang seharusnya berfungsi sebagai petunjuk ke arah jalan lurus, telah menyimpang. Berarti juga Allah telah menyesatkan manusia. Subhanallah. Itu jelas tidak mungkin.
Al Qur'an telah menjelaskan bahwa yang disampaikan oleh Rasulullah tidak lain adalah wahyu semata. Rasulullah dalam berkata-kata tidaklah mengikuti hawa nafsunya, melainkan dibimbing oleh wahyu yang diturunkan kepada rasulullah.

"Katakanlah, sesungguhnya aku hanyalah memberi peringatan kepadamu dengan al-wahyu" (al-Anbiya 45)

"(Dan) dia (Muhammad) tidaklah mengucapkan sesuatu dari hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadaku)" (al-Najm 3 - 4)

Lafadz "wa ma yantiqu" (dan tidaklah ia mengucapkan) tertulis dalam bentuk umum. Artinya, mencakup al-Qur'an dan selain al-Qur'an, yakni al-Hadits. Jadi hadits, sesuai pengertian ini, juga termasuk al-wahyu. Sebagaimana al-Qur'an, al-Hadits secara umum (selanjutnya tergantung kategorinya) harus diimani dan diterima secara mutlak, sepanjang itu menyangkut masalah pemikiran, pendapat, hukum (tasyri'), masalah aqidah (aqaid), dan kisah-kisah. Bukan menyangkut persoalan cara (uslub), sarana-sarana (wasilah) misalnya dalam strategi peperangan atau teknik penyerbukan korma. Pendek kata, ucapan rasul yang merupakan wahyu adalah yang berkaitan dengan kedudukan dan tugasnya sebagai penyampai risalah Allah, bukan yang lainnya misalnya berkaitan dengan sains dan teknologi atau perbuatan yang bersifat jibiliah (kemanusiaan) seperti cara jalan, makan dan sebagainya.
Wahyu mencakup perkataan (aqwal), perbuatan (af'al) dan diamnya (takrir) Rasulullah atas sesuatu. Maka perkataan, perbuatan dan diamnya Rasul adalah dalil syar'iy. Karena Rasulullah memang tidak pernah memberikan alternatif penyelesaian problematika manusia kecuali berdasarkan wahyu.

"Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku" (al-Ahqaf :9)

"Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan Tuhan kepadaku" (al-A'raf :203)

Ayat di atas menunjukkan bahwa kewajiban meneladani Rasulullah sebatas apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepadanya. Itulah yang dilakukan oleh para shahabat. Mereka selalu bertanya kepada Rasulullah tentang hukum banyak perkara seperti soal zhihar, li'an, pengkebiran (ikhtisha'), melancong (siyahah) dan sebagainya. Kadang, seperti dalam persoalan dzhihar dan li'an, Rasulullah tidak menjawab hingga turunnya wahyu. Dengan bimbingan wahyu pula, misalnya Rasulullah menjawab tentang haid, anfal, ruh dan sebagainya.
Untuk memastikan apakah suatu ketetapan itu berdasar wahyu atau hanya pendapatnya sendiri, para shahabat tidak segan-segan bertanya kepada Rasulullah langsung. Maksudnya, bila itu wahyu mereka akan mengikuti dengan mutlak (sami'na wa atha'na). Tapi bila bukan, dan mereka punya pemikiran lain, maka mereka akan berdialog dengan nabi, seperti yang dilakukan oleh Khabab bin Mundzir menyangkut strategi perang Badar. Dalam persoalan strategi perang Uhud, setelah bermusyawarah, Rasulullah malah mengikuti pendapat mayoritas para shahabat yang menginginkan pasukan Islam keluar Madinah menjemput musuh, dan meninggalkan pendapatnya sendiri yang menginginkan pasukan Islam tetap tinggal di dalam kota. Itu semua menunjukkan bahwa apa yang dikatakan, dilakukan dan diamnya Rasul adalah wahyu. Bila Rasulullah boleh berkata bebas, tentu Rasulullah tidak perlu menunggu hingga turun wahyu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, dan para shahabat tidak perlu bertanya apakah itu wahyu atau bukan.
Dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan risalah, seperti persoalan penyerbukan korma yang bisa diartikan juga mencakup hal lain yang berkaitan dengan sains dan teknologi, misalnya soal pembangunan gedung, jembatan, pertanian, teknik kedokteran, eksplorasi minyak dan sebagainya Rasulullah mengatakan: "antum a'lamu bi umuri dunyakum" (engkau lebih mengetahui urusan dunia (sainstek) mu). Artinya, dalam soal-soal seperti tersebut di atas, Rasulullah menyerahkan penyelesaiannya kepada kemampuan penguasaan sains dan teknologi, bukan risalah Islam atau al-Qur'an dan al-Hadits.
Para nabi dan rasul juga maksum dalam perbuatan yang termasuk kategori dosa besar (al-kabair) ataupun kecil (al-shaghair). Melakukan suatu dosa berarti telah terjerumus dalam kemaksiyatan. Maksiyat artinya meninggalkan kewajiban (fardhu) dan melakukan larangan (haram). Bila kemaksiyatan telah mewarnai perbuatan seorang nabi atau rasul, maka mungkin pula itu akan mempengaruhi tugasnya dalam penyampaian risalah. Artinya, akan terjadi kemungkinan penyimpangan dalam penyampaian risalah. Oleh karena itu, para nabi dan rasul bersifat maksum terhadap dosa besar atau kecil, sebagaimana mereka maksum dalam persoalan penyampaian risalah.
Kepercayaan terhadap kemaksuman Rasulullah merupakan bagian dari aqidah Islam. Yang ingkar, berarti ia ingkar pula terhadap aqidah Islam. Dengan keyakinan ini, akan terbina keyakinan terhadap kebenaran mutlak ajaran-ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah kepada kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar