Sabtu, 21 Februari 2009

PENGAWASAN MELEKAT

 Alkisah, suatu hari seorang pemuda tengah mengembalakan sejumlah biri-biri di sebuah padang rumput. Datang kepadanya Amirul Mukminin, Khalifah Umar bin Khathab. Menjadi kebiasaan Umar, sebagai pemimpin umat Islam, bepergian ke berbagai tempat untuk berjumpa secara langsung dengan rakyatnya. Ia ingin merekam denyut kehidupan masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya. Jangan-jangan, tanpa sepengetahuannya, terjadi ketidakberesan aparat dalam mengurusi negara ini. Ia tidak menginginkan ada sebagian umat Islam yang menderita karenanya. Demikianlah, kali ini Umar menemui pemuda penggembala biri-biri. Tapi di luar dugaan, pemuda yang tampak amat sederhana dan pekerjaannya pun "hanya" menggembala biri-biri, ternyata menyimpan semangat keimanan yang luar biasa. Hal itu tampak ketika Khalifah Umar hendak "menguji" kejujuran pemuda itu dengan mengatakan, "Wahai pemuda, serahkan seekor biri-birimu kepadaku". Pemuda itu ternyata tidak begitu saja memenuhi permintaan Umar. Ia berkilah, "Biri-biri ini bukan milikku". "Apa yang akan aku katakan kepada majikanku bila dilihat biri-biri kepunyaannya berkurang dari jumlah semula," jelas pemuda itu. "Katakan saja kepada majikanmu, seekor serigala telah menerkam biri-biri itu," kata Umar memberi jalan. Apa komentar pemuda lugu mendengar siasat busuk yang diberikan Umar? "Fa aina Allah - lantas di mana Allah", jawab pemuda itu tegas. Maksudnya, bisa saja ia membohongi majikannya, tapi tentu tidak terhadap Allah. Allah Yang Maha Melihat pasti akan tahu perbuatan curangnya itu. Umar tentu saja tidak bersungguh-sungguh mengajari pemuda itu untuk berlaku curang. Ia hanya bermaksud menguji iman pemuda itu. Dan kini ia begitu bangga dan bersyukur mendapati pemuda sederhana, bagian dari rakyatnya, yang hidup di pedesaan ternyata memiliki keteguhan iman yang mengagumkan.
Pemuda tadi telah mengajarkan kepada kita secara praktis apa yang disebut Ihsan. Ihsan adalah keadaan pada diri seseorang yang dia merasa senantiasa diawasi Allah dalam segenap perbuatan lahir atau batin. Terdapat sebuah hadits sahih riwayat Bukhari dari Umar bin Khatab yang menjelaskan pengertian Ihsan.
بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنْ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنْ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا قَالَ صَدَقْتَ قَالَ فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِيمَانِ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ قَالَ صَدَقْتَ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِحْسَانِ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Kita jelas tidak dapat melihat Allah. Sebaliknya, Allah pastilah dapat melihat kita. Hanya saja, bagaimana cara Allah melihat kita, itu tidak penting dan tidak perlu, bahkan jangan sekali-kali mencari tahu karena usaha itu pasti akan sia-sia. Tentang bagaimana Allah melihat, mendengar, berkehendak dan sebagainya Al Qur'an hanya mengatakan "laysa ka mitslihi syaiun" (tidak ada sesuatupun yang menyerupainya)". Jadi, kita sama sekali tidak mampu menggambarkan sedikitpun tentang perbuatan-perbuatan Allah. Yang kita tahu adalah sifat-sifat Allah, itupun karena Allah sendiri yang mengabarkan - dengan Al Qur'an - kepada kita.
Kendati demikian Al Quran telah memberikan petunjuk, bahwa kita memang tidak sedikitpun bisa lepas dari pengawasan Allah. Untuk hal ini, Allah ternyata telah menciptakan anggota tubuh kita pandai berkata-kata di akhirat nanti untuk menceritakan semua yang kita lakukan selama hidup di dunia.
حَتَّى إِذَا مَا جَاءُوهَا شَهِدَ عَلَيْهِمْ سَمْعُهُمْ وَأَبْصَارُهُمْ وَجُلُودُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ(20)وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
"Sehingga apabila mereka samapi ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka: "Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?" Kulit mereka menjawab: "Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.(Fushshilat:20-21)
Manusia akan dibuat tercengang karenanya. Bagaimana mungkin mata, telinga dan kulit yang selama di dunia diam seribu-basa serta tunduk mengikuti apa kemauan empunya, kini berkata lepas menceritakan semua yang pernah terjadi? Dan anggota tubuh itu kini semua menjadi saksi-saksi yang sangat obyektif, jujur dan apa adanya. Itu berbeda sama sekali dengan saksi dalam peradilan dunia yang acap berkata dusta, ingkar, cenderung meringankan atau memberatkan tertuduh.
Manusia pada umumnya memang menyangka bahwa Allah tidak tahu apa yang mereka lakukan, khususnya bila itu menyangkut tindak maksiat yang sudah diusahakan sekuat mungkin agar tersembunyi dari pengamatan orang. Tapi ternyata justru mata, telinga, bahkan kulitnya sendiri itulah yang menjadi saksi atas perbuatannya. Terang saja, bagaimana mungkin manusia bisa lepas dari pengamatan organ yang selama hidup menempel di tubuhnya sendiri. Inilah pengawasan melekat yang sungguh-sungguh melekat.
وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ
Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu. Bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka terhadap Tuhanmu, Dia telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi" (Fushshilat:23)
Umumnya manusia seakan sudah merasa aman ketika ia berbuat maksiyat di tempat tersembunyi atau menutup jalan dari penglihatan orang lain. Ketika seseorang pergi ke Puncak berkencan dengan wanita bukan istrinya, ia merasa tidak akan ada seorangpun - termasuk anak istrinya - tahu. Begitu juga ketika seorang koruptor memanipulasi uang negara dengan mereka-reka kuitansi fiktif, yakin akan terhindar dari pengawasan atasannya. Ketika seorang pedagang tega mengurangi timbangannya, atau pemborong seenak perutnya menyimpangkan bangunan dari bestek, semua itu dengan ringan dilakukan karena menyangka tidak ada yang tahu. Juga, ketika seorang pembunuh menghapus jejaknya dan mengubur korban berikut barang bukti yang sekiranya dapat menyeretnya ke pengadilan, yakin bahwa tak seorangpun tahu akan perbuatannya. Atau seorang hartawan yang selalu mengobral cerita tentang kedermawanannya, berlaku seolah Allah tidak tahu amal perbuatannya. Pamer, riya' atau ingin pujian orang lain atas perbuatan baiknya sesungguhnya bersumber dari ringkihnya keyakinan pelaku akan ke-Maha Tahuan Allah. Sama dengan orang yang pelesir ke puncak tadi yang menganggap Tuhan seolah-olah hanya ada di masjid. Sementara di Puncak tidak ada Tuhan. Juga mereka yang berbuat jahat sambil sembunyi-sembunyi atau menyembunyikan perbuatannya, menyangka seolah-olah tidak ada sesuatupun yang tahu. Padahal penglihatan, pendengaran, dan kulit menyaksikan semua tingkahnya.
Akan halnya mulut yang selama ini sering digunakan tidak saja sebagai alat komunikasi tapi juga untuk membikin alibi, cerita bohong atau berkilah dari perbuatan yang sebenarnya ia lakukan, kelak diakhirat akan di"tamat"kan fungsinya. Sebagai gantinya, Allah - sebagaimana mata, telinga dan kulit - membiarkan tangan dan kaki berkata sejujurnya tentang apa yang telah dilakukan oleh tuannya. Mereka beramai-ramai menjadi saksi yang tidak mungkin dapat dibeli ataupun diintimidasi. Saksi yang tidak memiliki kepentingan apapun atas persaksiannya. Pernahkah Anda menjumpai saksi semacam ini?
الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan" (Yasin:65(
Ibadah Membentuk Ihsan
Ibadah merupakan manifestasi ketundukan hamba kepada Khaliqnya. Melalui ibadah, seorang muslim dapat berhubungan langsung dengan Allah. Bila ibadah dilakukannya dengan baik, ia akan merasa berhadapan dengan Allah, dan Allah menyaksikan kehadirannya. Perasaan senantiasa diawasi oleh Allah yang kemudian memunculkan sikap khasyatullah (takut kepada Allah) itulah buah ibadah. Dalam realitas kehidupan sehari-hari rasa takut kepada Allah akan senantiasa mendorongnya untuk tunduk kepada aturan Allah, melaksanakan kewajiban dan sunnah serta menjauhi yang dilarangNya. Salah satu ibadah yang sangat menempa rasa "diawasi Allah" (Ihsan) adalah puasa. Allah, sebagaimana termaktub di dalam surah Al Baqarah ayat 183, memerintahkan kepada orang beriman, bukan orang lain, untuk berpuasa. Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan ditujukan hanya kepada orang yang beriman, karena hanya mereka saja yang mampu melaksanakan kewajiban itu. Mengapa?
Puasa adalah ibadah yang banyak memerlukan pengendalian diri. Tidak ada seorang pun dapat berpuasa dengan baik kecuali dia memiliki pengendalian diri yang baik pula. Misalnya saja, dari mana kita bisa menjamin bahwa orang yang tengah berpuasa tidak memakan apa-apa di siang hari bolong di tempat yang tersembunyi? Juga, ketika mengambil air wudhu, kendali macam apa yang mampu menahan dia untuk tidak menghirup walau seteguk air sekedar melepas dahaga? Dan ketika waktu sahur sudah habis, kendati cuma beberapa detik berlalu, siapa yang menahan seseorang untuk tidak meneruskan makannya? Atau, kekuatan apa yang menahan seseorang untuk tidak segera berbuka padahal waktu maghrib tinggal beberapa menit lagi? Itulah kendali iman, yakni keyakinan kepada Allah yang bersemayam di dalam dada seorang muslim.
Ketika seorang muslim telah menjalankan puasanya dengan baik, sesungguhnya ia telah mempraktekkan pula prinsip Ihsan dengan baik. Dengan Ihsannya ia mengendalikan diri untuk tidak melanggar larangan-larangan puasa. Ia yakin Allah senantiasa melihatnya. Percuma saja ia menipu dengan meneguk setetes air misalnya, karena Allah pasti tahu. Dan batallah puasanya. Ia mungkin saja tampak oleh orang lain masih tetap berpuasa, dan turut berbuka bersama keluarga. Tapi, ia tidak mungkin membohongi dirinya sendiri bahwa tadi siang ia telah meminum setetes air, dan semenjak itu sesungguhnya ia tidak dalam keadaan berpuasa lagi. Inilah Ihsan yang dapat terbentuk selama menjalankan ibadah puasa.
Ihsan dan Kehidupan Modern
Seorang bankir terkemuka, bekas direktur utama sebuah bank swasta nasional yang cukup besar, pernah menyatakan dalam suatu diskusi, bahwa tidak ada sistem perbankan secanggih apapun yang mampu menahan seorang bankir untuk berbuat curang - kecuali imannya kepada Tuhan. Kita menilai, pernyataan ini memiliki bobot yang tinggi, karena ia muncul dari seseorang yang telah sekian tahun lamanya bergelut sebagai praktisi perbankan yang acap dinilai orang sebagai dunia yang penuh kolusi dan manipulasi. Ia tentu sudah mengalaminya secara langsung bagaimana sulitnya mengendalikan sekian sistem yang digerakkan oleh manusia yang rentan terhadap godaan harta. Hanya keteguhan moral para karyawan, pimpinan dan direksi saja yang dapat menjamin mekanisme perbankan itu dapat berjalan sewajarnya. Di sinilah peran kendali diri, yang disebut oleh bankir kita tadi. Dan itu tidak lain adalah Ihsan yang tengah kita bicarakan.
Perasaan senantiasa diawasi Allah, yang sudah terbentuk ketika ia menjalankan ibadah puasa, semestinya tercermin pula di dalam aspek kehidupan yang lain. Tetapi sayangnya itu berhenti hanya pada kegiatan puasa di bulan Ramadhan. Selepas itu, agaknya cukup banyak manusia yang berbuat tanpa kendali. Ia berbuat seolah-olah pengawasan Allah, mata, telinga, tangan, kaki dan kulit mereka hanyalah sebatas amal ibadah puasa di bulan Ramadhan saja. Bila ini terjadi, berarti sebagai muslim ia hanya terikat kepada keIslamannya sebatas masalah ibadah; di luar itu tidak. Kemuslimannya telah mengalami reduksi. Islam, agama yang memberi petunjuk hidup dalam semua aspek, kini tinggal sebatas ibadah.
Bila seorang muslim dengan Ihsannya dapat menjaga hubungan dengan Allah, seperti tatkala ia berpuasa, maka semestinya ia menjaga hubungan dengan manusia yang lain dengan cara sebaik-baiknya pula. Ia tidak menipu, apalagi mencuri atau merampok untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Ia juga tidak akan berjuang untuk sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Allah. Atau menetapkan hukum di luar hukum Allah, menyebarkan paham, pemikiran, tingkah laku, dan budaya yang tidak Islamy. Ia lakukan semua lantaran Allah senantiasa melihatnya. Dan ia yakin, anggota tubuhnya kelak akan menjadi saksi dari perbuatannya.
Pernyataan bankir tadi menunjukkan kepada kita bahwa konsep Ihsan ternyata tetap relevan di jaman modern sekalipun sekarang ini. Bahkan banyak fakta membuktikan, kesemrawutan birokrasi di negeri ini berpangkal dari lemahnya etik-moral para birokrat - yang itu bermuara dari lemahnya pengendalian diri. Men PAN mestinya tidak perlu memikirkan sistem pengawasan bertingkat ataupun pengawasan melekat (waskat) di setiap departeman bila di dada setiap birokrat tertanam sikap Ihsan. Para istri juga tidak perlu cemas melepas suami pergi ke luar rumah, atau berusaha keras sampai kadang menempuh cara yang tidak logis agar suami tetap setia, bila suami senantiasa berbekal Ihsan ke mana saja ia pergi. Mungkin juga polisi tidak perlu cemas kejahatan akan cenderung meningkat bila Ihsan telah tertanam di dana manusia-manusia. Ihsan itulah yang mengotrol para birokrat agar berlaku jujur. Ihsan pula yang mengendali para suami untuk hanya bergaul dengan istrinya, serta menahan calon penjahat dari tindak kejahata yang hendak dilakukannya. Dari situ, polisi semestinya tidak perlu bekerja keras mengawasi keamanan masyarakat, karena sudah terdapat pengawas yang benar-benar melekat. Itulah mata, telinga, tangan, kaki dan kulit yang melekat pada diri manusia yang tentu sangat bisa diandalkan. Masyarakat tentu akan aman sentausa. Insya Allah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar